Selasa, 08 November 2011

Menjamah Pagi Dari Warung Mang Ocon

Beranjak dari hamparan sajadah 1 meter, berjamaah shubuh dengan perempuan tercantik yang telah melahirkanku, yang semakin hari termakan usia. Dengan tak lupa membaca bismillah dalam menjalani hari ini dengan maksud menjadi hari yang bermanfaat minimal bagi diri sendiri. Ku raih jaket biru KKP masa kuliah di Semarang dulu, ku masukkan tangan ke dalam kantong, tersirat senyumku mengembang setelah indra perabaku menyentuh selembar kertas 1000an. Dalam hati bersyukur kepada Allah sang maha pemberi rizki telah menaruh uang itu. Seketika imajinasiku terlukis sebuah makanan tradisional terbuat dari adonan tepung beras. Makanan itu disebut serabi. Serabi yang dulu merupakan santapan rutin tiap pagi dengan secangkir kopi, dengan menikmati hijau daun tanaman padi depan rumah akan menjadi menu breakfast ku hari ini.
Ku duduk seorang diri dengan bersandingkan secangkir kopi dan serabi. Mata, hidung, kulit, lidah, telinga, panca indraku yang aku punya, pagi hari ini sangat membantu dalam menikmati kehidupan pagi hari ini. Kedua mataku yang sipit hanya sesaat berkedip akan pemandangan pagi ini; indahnya lingkaran sinar mentari yang menembus gelembung embun di hijaunya daun-daun tanaman padi, pak tani yang sedang berdiri memeriksa sawahnya yang sudah keluar biji padi nampak begitu riang. Sedangkan di jalan selebar 4 meter depan rumah, lalu lalang siswa  putih merah, putih biru , putih abu-abu, berangkat sekolah  akan menempuh tahun ajaran baru dengan serba baru, mulai dari pakaian hingga harapan baru akan kualitas pendidikan. Beranjak ke indra pencium, hidungku merasakan sebuah bau yang tak asing lagi….yaitu bau badanku,,,blm mandi setelah tadi keringetan menyirami tanaman sekeliling rumah. Itu wujud rasa cintaku kepada makhluk Tuhan, karena aku pernah membaca sebuah hadist: “barang siapa saying terhadap apa yang ada di bumi, maka yang ada di bumi akan saying kepadamu.”Dan benar juga,,,banyak jambu-jambu berjatuhan yang bias disantap.hihihi…
Beranjak ke indra perasa, angin kemarau di pagi hari begitu menusuk kulit tulangku, terasa berada di Kopeng, sebuah dataran tinggi di Salatiga, saat mengikuti dan menjadi panitia Studium General semasa muda dulu. Udara itu begitu dingin dan dingin yang membuat jaket-jaket tebalku keluar lagi dari markasnya. Di samping itu juga kalau pagi hari kulit tangan dan    
Rasa syukur berikutnya adalah atas indra pengecapku yang masih bias merasakan nikmatnya serabi telor dan hitam pahit manisnya secangkir kopi. Makanan dan minuman itu tak akan bias rasakan nikmatnya kalau kita sariawan. Dan lidahku pula yang kadang merasakan minuman dan makanan hasil utang di warung mang Ocon…kesuwun sing akeh pisan kanggo mang Ocon….
Suara burung centet peliharaan kakakku dan suara ibu menyuruh aku bersih-bersih rumah menjadi rutinitas keberfungsian indra pendengarku tiap pagi. Namun , semua itu bagiku adalah indah sebagai harimoni dan ritme kehidupan. Begitulah hidup, yang kata Sadeq Hedayat, hidup adalah campuran keindahan yang pahit dan kesedihan yang manis.
Ku tengok ke pintu warung, tampak mang Ocon sedang sibuk membuka warungnya berharap mendapat rejeki banyak di pagi hari. Orang tua mengatakan yang bangun pagi-pagi akan dapat rejeki banyak. Terbukti dengan aku bangun pagi dapat rejeki Serabi dari Tuhan. Tuhan telah mengirimkannya lewat bi Umenah yang sudah sedari aku belum lahir sudah berjualan kue itu di waktu keheningan subuh kala orang-orang masih bermanja dengan selimut.
“Chad, gawe tulisan tentang warung mang Ocon maning si…ambir laris kih warunge kita (baca: Chad, bikin tulisan tentang warung mang Ocon lagi dong biar warungku laris)” celoteh mang Ocon sembari menata barang dagangannya. “Ciap bos….enteni bae, insyaAllah sedurunge ramadhan wis terbit” jawabku dengan optimis bisa menulis lagi. Dan itu menjadi salah satu inspirasi atas tulisan ini.


By

Ochad, PRT
26072011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar